Realitas Panoptikon menghadirkan intensitas vokal dan lirik yang menantang struktur pengawasan modern. Terapi Minor menggunakan citra panoptikon—simbol pengawasan total—sebagai bingkai untuk mengkritik negara, media, dan mekanisme sosial yang melanggengkan kontrol. Lagu ini menegaskan tema otonomi diri, pembangkangan, dan pembebasan melalui gagasan bahwa setiap individu dapat menciptakan realitasnya sendiri di tengah budaya pengamatan yang menekan.
Lirik Lagu Realitas Panoptikon
[Verse 1]
Satu pagi aku bangun, satu pagi aku pergi
Ku ucap selamat tinggal karena aku akan mati
Tak perlu mengubur, pusara ku gali sendiri
Tak perlu tangis dan tawa karena hari esok berganti
Tak dikutuk hidup bebas, aku adalah kebebasan
Tanpa penebusan, tanpa pengkultusan, tanpa label, tanpa judul, tanpa identitas
Persetan dengan negara, persetan dengan anarki
Persetan dengan nihilis, persetan dengan pasifis
Persetan dengan altruis, persetan dengan egois
Persetan dengan relasi, kucintai diri sendiri
Hari ini aku mati, hari esok aku bangkit
Perhitungan salah-benar adalah penyakit
Bersiaplah menuju sesuatu tanpa batas
Buatlah kesadaranmu sendiri karena ini realitas
Aku menari di balik jeruji besi
Kemarin ku menangis, sekarang senyum berseri
Ku kencingi legal politik dan media
Dimana akumulasi modal target utama
Tak peduli dengan Undang-Undang yang mengundang, teriak sampai mati
Bakar sampai habis berujung normalisasi
Cap-lah dirimu dengan label tuk berekspresi
Tak pernah coba kau lampaui hasratmu bak rotasi masturbasi
Tanpa tunggu kehancuran, tiba kehancuran setiap hari
Boleh kau sebut ini manifestasi depresi
Bajingan! ku tak mengenal pesimis atau optimis
Tiap detik adalah dinamis
Waktu akan selalu menggilas, ini hanya pengulangan
Hingga kau temui makna dan tertawakan kehidupan, kesenangan,
kesedihan, perjuangan hanyalah peran
Duduklah di depan, saksikan ini tontonan
[Verse 2]
Aku yang menempuh jalan sunyi
Disaat semua kekangan berwujud televisi
Satu per satu individu pergi, tak kembali
Tanpa sadar mereka telah kuludahi
Ini bukan ratapan bak ziarah pemakaman
Kulampaui segalanya melintasi mimpi basah para pembangkang
Frasa yang kurangkai di atas api buat gentar Satu Tiga Satu Dua
Dan, jadi, mari, menjemput kematian
Kita lihat siapa yang kembali pada kehidupan
Menempuh jalan ilegal, apa perlu dijual?
Ekspetasi, harapan, dan mimpi hanyalah sebuah khayal
Segalanya adalah destruktif dan selamat tinggal
Tragedi hanyalah sebuah hal yang banal
Letusan amarah hanya dapat kuceritakan
Kala raga dan jiwa terjebak pada kesunyian
Aksi reaksi hanya berakhir manipulatif
Kehancuran sedang kunikmati dalam kontemplasi nada menuju kematian reaktif
Ini bukan sekedar perusakkan properti
Bukan pula propaganda atau propaganja
Aksi kemarin hanyalah bunuh diri
Yang meyakinkan bahwa jangan ada harapan
Dan rasa percaya pada apapun dan siapapun
Nikmati saja, terkadang realitas memang tak memberi ampun
Muntahan sajak, diiringi muntahan kematian
Tetap menjadi teman dalam sudut kesunyian
Mulai kembali membuka jalan dan terus berjalan
Hingga kembali pada ketiadaan
Deskripsi
“Realitas Panoptikon” menempatkan pendengar pada ruang batin seorang subjek yang menolak dikategorikan, dikultuskan, atau diatur oleh identitas yang diberi dari luar. Sejak bait pembuka, ada deklarasi tegas soal kebebasan mutlak—menjadi bebas tanpa penebusan maupun label—yang kemudian berlanjut menjadi sikap sinis terhadap politik hukum dan media sebagai alat akumulasi modal. Lirik ini membaca pengawasan bukan sekadar mekanisme fisik, tetapi juga praktik simbolik yang membuat individu terus merasa diawasi dan dinilai.
Ketegangan antara kematian dan kebebasan terasa kuat; kematian digambarkan sebagai pilihan, gerak, atau sikap di mana si pelaku membebaskan diri dari norma yang mengekang. Namun, dibandingkan sekadar glorifikasi destruktif, lagu ini lebih menekankan pada pemberontakan eksistensial—sebuah pernyataan bahwa hidup dan mati adalah pertunjukan yang dipentaskan di hadapan publik. Terapi Minor menggunakan bahasa provokatif untuk memicu pertanyaan: apakah makna hidup masih otentik apabila selalu direkam, dinilai, dan dikomodifikasi?
Pada bait kedua, narasi beralih ke pengalaman jalan sunyi dan konsekuensi pembangkangan. Frasa-frasa yang menggambarkan tindakan ilegal, letusan amarah, dan kontemplasi menuju ketiadaan menegaskan bahwa perlawanan sering berujung pada isolasi. Namun di situlah terletak kekuatan lagu: ia menolak romantisasi aksi massa dan justru memfokuskan pada konsekuensi personal dari menolak pengawasan. Nada lagu ini sekaligus menyeramkan dan memikat—mendorong pendengar untuk merenungkan realitas yang dihasilkan oleh pengawasan kolektif serta kemungkinan pembebasan personal yang radikal.