Lagu “Senandika Waktu” karya Pensil Langit adalah sebuah puisi eksistensial yang dibalut dalam nuansa kontemplatif dan spiritual. Liriknya tidak sekadar menceritakan kesunyian, tetapi mengangkat sunyi sebagai ruang kesadaran, tempat manusia berdialog dengan diri, waktu, dan makna hidup. Lagu ini menghadirkan refleksi mendalam tentang perjalanan batin seorang insan yang memilih menyepi demi menemukan hakikat.
Dengan metafora alam, istilah falsafah, dan simbol spiritual, Senandika Waktu menjadi karya yang mengajak pendengar untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan mendengarkan suara jiwa yang kerap terabaikan.
Lirik Lagu Senandika Waktu
[Verse 1]
Di hujung galah langit terbuai
Bulan berselendang awan yang alai
Sunyi menari di ubun senja
Aku tamu di rimba jiwa
Angin bersyahdu bahasa gurindam
Daun berbisik seribu madah
Raga tegak, tapi ruhku karam
Tertanam sunyi dalam wadah
[Chorus]
Sendiri bukan luka, tapi pusaka dari azali
Berjalan tanpa bayang, kerana aku sendiri sang perawi
Langit memekik rahsia, tapi bumi diam bersajak
Sunyiku bukan lemah, ia hikmah yang tak bertapak
[Verse 2]
Aku bukan buana, tapi gema dalam fana
Berkidung dalam gua, di dinding aksara fana
Petikan zikir menyulam zarah
Dunia terbalik akal dihukum, nafsu dijarah
Ladang minda aku bajak dengan kitab kuno
Falsafahku berdarah, tak lut pedang dan panah
Pungguk menunggu takdir terbelah
Sedang bulan pun hilang dalam sumpah
[Verse 3]
Keris patah, namun masih bermata
Seperti jiwa, retak tapi membaca
Dunia gamam, langit tak menjawab
Aku bicara dengan debu yang merayap
Genta sunyi berdentang dalam dada
Merdu tapi perit pada yang tak merasa
Bisu bukan beku, hanya diamnya berseni
Menari dalam gelita, mencari makna hakiki
[Verse 4]
Aku saksi pada waktu yang lupa arah
Jalanan ini bukan untuk kaki, tapi untuk darah
Manusia bergelar tuan pada dunia yang binasa
Sedang aku menjerit diam dalam bahasa purba
Warkah semesta kutulis dengan air mata
Dalam suku kata yang tak mampu dibaca
Sunyi bukan kekosongan, tapi penuh makna
Tempat roh bertafakur, tempat hati bertanya
[Chorus]
Sendiri bukan luka, tapi pusaka dari azali
Berjalan tanpa bayang, kerana aku sendiri sang perawi
Langit memekik rahsia, tapi bumi diam bersajak
Sunyiku bukan lemah, ia hikmah yang tak bertapak
[Bridge]
Adakah sunyi ini sebenarnya suara
Yang tak berbibir, tapi bergema di sukma?
Adakah sepi ini rupa Tuhan
Yang menyingkap wajah tanpa bayangan?
Dalam gelita aku nampak terang
Bukan dari cahaya, tapi dari bimbang
Aku bukan hilang aku menyepi
Kerana di sunyi itulah aku ditemui
[Outro]
Dan jika esok tak bersaksi
Biarlah sunyiku jadi saksi
Bahawa aku hidup, meski tak diseru
Di sebalik diam, aku bersatu
Deskripsi
Lirik lagu “Senandika Waktu” menggambarkan kesunyian bukan sebagai penderitaan, melainkan sebagai anugerah dan warisan batin. Sejak bait pertama, pendengar diajak masuk ke lanskap jiwa yang hening—di mana senja, angin, dan daun menjadi bahasa perenungan. Tokoh dalam lagu menyadari dirinya sebagai “tamu di rimba jiwa”, simbol manusia yang sedang menelusuri makna keberadaan.
Pada bagian chorus, makna utama lagu ditegaskan: sendiri bukan luka, melainkan pusaka. Kesendirian diposisikan sebagai kondisi alamiah manusia untuk menjadi perawi hidupnya sendiri. Sunyi bukan kelemahan, tetapi hikmah yang tidak semua orang mampu pijak dan pahami.
Bait-bait selanjutnya memperdalam kritik terhadap dunia modern—akal yang dihukum, nafsu yang dijarah, dan manusia yang kehilangan arah. Kitab kuno, zikir, dan simbol senjata tradisional seperti keris menjadi lambang keteguhan nilai dan spiritualitas yang tetap hidup meski zaman retak.
Bagian bridge menjadi puncak perenungan filosofis. Sunyi dipertanyakan: apakah ia sebenarnya suara Tuhan yang hadir tanpa rupa dan tanpa kata? Di sinilah lagu menempatkan kesepian sebagai ruang perjumpaan ilahi, tempat manusia tidak hilang, melainkan ditemukan.
Penutup lagu menegaskan bahwa meski dunia tidak bersaksi, sunyi itu sendiri cukup menjadi saksi kehidupan. Diam bukan ketiadaan, melainkan bentuk persatuan antara jiwa, waktu, dan makna hakiki.
