“Musang Tok Janggut” adalah karya tajam dan sinis dari Xkatira, yang menyentil fenomena kemunafikan spiritual di tengah masyarakat. Lewat lirik penuh sindiran dan metafora, lagu ini membuka tabir tentang sosok “guru suci” palsu yang bersembunyi di balik serban dan kalimah suci. Dengan nuansa kritik sosial dan keagamaan yang kuat, “Musang Tok Janggut” menjadi satir musikal tentang manipulasi agama demi kuasa dan keuntungan duniawi.
Lirik Lagu Musang Tok Janggut
[Verse 1]
Jejak pekat di tanah lembah, langkahnya sunyi berbau helah
Lidahnya manis menawar resah, tapi matanya memerah serakah
Topeng warak dijahit rapi, benangnya nasihat celup simpati
Ayat bersulam konon sufi, niatnya gila kudrat duniawi
Dia bicara rahmat dan dosa, tapi hatinya sarang durjana
Tangan berzikir depan manusia, belakang kira laba angka
Dia guru konon mursyid desa, tapi ajarannya gadai maruah
Kalimah dijual timbang pahala, siapa bayar dapat “fitrah”
Serban lilit petah berhujah, tapi hujahnya pisau berbalut sunnah
Belit bicara putar sejarah, musang berjanggut sembunyi muslihat
Dia tak bunuh guna besi, tapi fikirannya racun yang basi
Tak curi harta dalam peti, tapi curi akal si hati suci
[Chorus]
Nenek-nenek si bongkok tiga, siang malam asyik berjaga
Mencari tok janggut entah di mana, muslihat licik berbalut kalimah
Nenek-nenek si bongkok tua, mencari jejak yang tiada rupa
Tok janggut hilang di balik kata, topeng suci sembunyi sengketa
[Verse 2]
Dia rajin jajah kata “ikhlas”, tapi semua urusan bertanda kelas
Si kaya depan naik kerusi, si miskin belakang berdiri berbaris
Dia pandai main ayat qalam, tapi tafsir ikut selera malam
Bila ditanya hujahnya tumpul, “jangan soal, kurang adab salam”
Dia tanam takut dalam minda, “jangan fikir, nanti sesat” katanya
Padahal dia yang cipta sarang, biar akal orang mati sengaja
Dia jual syurga guna resit, hukum dibida sesuka hati
Air muka manis macam wali, tapi bisnes pusaka mengaut rugi
Kononnya dia paling zuhud, tapi seleranya besar menggunung
Doa panjang macam khutbah, tapi nafsunya tak pernah tanggung
Dia tuduh orang kurang iman, demi tutup pekung sendiri
Orang kampung jadi alat mainan, dia raja pura-pura suci
[Chorus]
Nenek-nenek si bongkok tiga, siang malam asyik berjaga
Mencari tok janggut entah di mana, muslihat licik berbalut kalimah
Nenek-nenek si bongkok tua, mencari jejak yang tiada rupa
Tok janggut hilang di balik kata, topeng suci sembunyi sengketa
[Verse 3]
Dia bicara tentang fana, tapi hatinya mabuk dunya
Lidah ulang zikir nama-Nya, tapi jiwa sujud pada harta
Dia bersyarah hakikat insan, tapi nafsunya jadi pedoman
Konon membimbing jalan ihsan, tapi dirinya tenggelam tak seimbangan
Dia cerita tentang makrifat, tapi memfitnah jadi adat
Ilmu laduni di hujung bibir, tapi amalnya kosong tak lekat
Dia laungkan soal tawakal, tapi rancang helah jadi modal
Kalimah sabar dijadikan perisai, untuk sorok dosa yang berskandal
Katanya syurga milik bertakwa, tapi dialah hakim tanpa kuasa
Berlagak mursyid pembuka nur, padahal gelap hatinya buta
Dia pandai menjampi ayat, tapi tangannya meracun niat
Konon wali berjubah putih, tapi gelarnya musang bermartabat munafikat
Topeng tak kekal di wajah, debu tak kekal di mata
Kata tak kekal di bibir, yang kekal cuma bicara jiwa
Nama tak kekal di lidah mereka, janji tak kekal di musim suka
Harga diri bukan pada kata, tapi pada hati yang dijaga
Bukan semua putih itu bersih, bukan semua hitam itu nista
Bukan semua diam itu lemah, kadang diam sedang menghukum dengan cara rahsia
[Chorus]
Nenek-nenek si bongkok tiga, siang malam asyik berjaga
Mencari tok janggut entah di mana, muslihat licik berbalut kalimah
Nenek-nenek si bongkok tua, mencari jejak yang tiada rupa
Tok janggut hilang di balik kata, topeng suci sembunyi sengketa
Deskripsi
Lagu “Musang Tok Janggut” menggambarkan potret kemunafikan moral dan spiritual yang sering terjadi di masyarakat — ketika agama dijadikan alat, bukan jalan.
Dalam bait pertama, Xkatira membuka dengan citra kuat: “Topeng warak dijahit rapi, benangnya nasihat celup simpati” — menyimbolkan bagaimana seseorang bisa menutup kerakusan dengan wajah kesalehan. Sosok “Tok Janggut” di sini bukan pahlawan, melainkan musang berjubah, simbol licik yang menggunakan ilmu dan kalimat suci untuk memperdaya.
Bait-bait berikut semakin tajam: Xkatira menyoroti perdagangan pahala, tafsir manipulatif, dan budaya takut berpikir. Ia mengkritik “guru” yang mengajarkan doa, tapi menghalangi logika; yang menyeru zuhud, tapi haus kekuasaan.
Reffrain dengan lirik “Nenek-nenek si bongkok tiga…” mengandung ironi: seperti dongeng lama yang berulang, manusia terus mencari kebenaran palsu di antara penipu berserban.
Pada akhirnya, lagu ini menegaskan pesan moral: tidak semua yang putih itu suci, tidak semua yang diam itu lemah. Xkatira mengajak pendengar untuk melihat dengan mata hati, bukan sekadar mempercayai simbol luar. “Musang Tok Janggut” adalah cermin bagi masyarakat — dan bagi diri sendiri — tentang bagaimana iman bisa diperdagangkan bila hati tak dijaga.
FAQs
Lagu ini menyingkap kemunafikan orang-orang yang berpura-pura suci dan menjual agama demi kepentingan pribadi.
“Tok Janggut” bukan tokoh sejarah, melainkan simbol bagi pemimpin spiritual palsu yang memanipulasi umat dengan citra kesalehan.
Karena sindiran puitis memungkinkan kritik sosial disampaikan lebih halus, dalam, dan tetap bernilai sastra.
Bahwa kesucian sejati tidak diukur dari pakaian atau gelar, tetapi dari hati dan niat yang tulus dalam berbuat.
“Musang Tok Janggut” relevan di era di mana agama sering dijadikan alat politik dan bisnis, mengingatkan kita untuk selalu kritis dan jujur dalam beriman.